Archive for April 15th, 2008

Upah Riil Buruh Semakin Lemah

Posted on April 15, 2008. Filed under: National |

Uang Habis untuk Ongkos dan Kontrak Kamar

JAKARTA, KOMPAS – Kenaikan laju inflasi semakin menekan nilai riil upah buruh. Oleh karena itu, pemerintah harus secepatnya merealisasikan berbagai program intervensi yang bisa meningkatkan kesejahteraan huruh secara tidak langsung, misalnya membangun rumah murah untuk pekerja.

“Hampir 40 persen dari upah habis untuk biaya transportasi dan perumahan sehingga jika bu­ruh bisa memiliki rumah sendiri di dekat lokasi kerja, semakin besar bagian yang bisa ditabung. Cara ini lebih mudah ditempuh ketimbang mendesak perusahaan menaikkan upah karena tidak semua perusahaan memiliki pertumbuhan usaha yang baik juga,” kata Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) Rekson Silaban di Ja­karta, Rabu (2/4).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, upah riil buruh pada Januari 2008 turun dibandingkan Januari 2007. Untuk triwulan III-2007 dibandingkan triwulan III-2006, upah riil buruh rokok turun 28,05 persen dan buruh pakaian jadi 13,07 persen.

Secara nominal, rata-rata upah buruh industri pakaian jadi tercatat Rp 762.817 per bulan atau turun 7,02 persen dibandingkan upah nominal triwulan III-2006.

Selama ini pengusaha mengupah buruh berdasarkan ketentuan upah minimum regional (UMR) yang ditetapkan pemerin­tah daerah. UMR ditetapkan sekitar 80 persen dari nilai kebutuhan hidup layak dengan alasan kondisi ekonomi.

Seperti yang dialami Puji (39), buruh pabrik tekstil di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, Ja­karta Utara. Meski bergaji Rp 900.000 per bulan, dia menghabiskan sedikitnya Rp 400.000 per bulan untuk mengontrak rumah ukuran 3×4 meter persegi di Kelurahan Pulo Gebang, Jakarta Timur, dan ongkos angkutan ke tempat kerja. Adapun upah mini­mum DKI Jakarta tahun 2008 adalah Rp 972.604, naik dari Rp 900.560 per bulan. Soal perumahan, pemerintah sudah meluncurkan Program

Percepatan Pembangunan Peru­mahan Pekerja untuk Kesejah­teraan Pekerja (P5KP) mulai 28 Januari 2008. Sebanyak 200.000 unit rumah akan dibangun dalam dua tahun untuk pekerja berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan.

Orientasi pasar

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G. Ismy berpendapat, penurunan upah riil banyak dialami buruh yang bekerja pada industri pakai­an jadi yang berorientasi ke pasar dalam negeri.

“Industri pakaian jadi yang berorientasi ekspor masih berjalan baik, full order. Namun yang orientasinya ke pasar dalam ne­geri memang makin tergerus,” ujar Ernovian.

Pada industri pakaian jadi, upah nominal buruh dapat terpangkas ketika permintaan menurun. Pengurangan produksi membuat buruh kehilangan upah lembur.

“Sebenarnya dalam kondisi sulit, pemerintah perlu mendukung industri untuk bisa lebih bersaing di pasar domestik. Kalau industri berjalan lebih baik, kesejahteraan buruh juga akan lebih baik,” kata Ernovian. (HAM/DAY/LKT)

Sumber: Kompas, 3 April 2008

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Laju Inflasi Bisa Dorong BI Menaikkan Suku Bunga

Posted on April 15, 2008. Filed under: National |

JAKARTA, KOMPAS – Meroketnya laju inflasi bisa mendorong Bank Indonesia untuk me­naikkan suku bunga. Jika suku bunga naik, laju penyaluran kredit bakal turun.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Martin Panggabean, Rabu (2/4) di Jakarta, menjelaskan, inflasi setahunan (year on year) per Maret 2008 yang mencapai 8,17 persen didorong oleh faktor-faktor pembentuk inflasi inti yang mencapai 8,07 persen.

Inflasi inti merupakan perhitungan kenaikan harga dengan menghilangkan komoditas yang harganya diatur pemerintah (ad­ministered price) dan makanan yang harganya bergejolak (vola­tile food). Komponen dalam in­flasi inti antara lain ekspektasi dan imported inflation.

Pengendalian inflasi inti me­rupakan tugas bank sentral. Salali satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate.

Kenaikan BI Rate diharapkan bisa mengerem laju impor bahan baku dan konsumsi masyarakat, serta menurunkan ekspektasi in­flasi. “Jika BI Rate tidak dinaikkan, dikhawatirkan inflasi inti bi­sa mencapai dua digit pada akhir tahun,” ujar Martin menjelas­kan.

Kepala Ekonom BNI Tony Prasetiantono mengatakan, BI hanya memiliki dua pilihan dalam merespons tingginya inflasi saat ini, yakni menahan BI Rate di level saat ini, yakni 8 persen, atau menaikkannya 25 basis poin menjadi 8,25 persen.

“Inflasi sekarang sudah cukup kritis. Kemungkinan bisa tembus 7 persen pada akhir tahun,” kata Tony. Menurut dia, banyak negara bernasib seperti Indonesia dan umumnya bank sentral negara bersangkutan merespons dengan menaikkan suku bunga acuan.

Bank sentral China, misalnya, menaikkan suku bunga acuannya untuk meredam inflasi yang sudah mencapai 8,7 persen. Bank sentral Australia menaikkan suku bunganya dari 4 persen menjadi 4,25 persen karena inflasinya na­ik ke level 4 persen.

Perkuat nilai tukar

Kepala Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan mengata­kan, pelaku pasar keuangan sebenarnya telah berekspektasi bahwa suku bunga bakal naik.

Itu tercermin dari jatuhnya harga obligasi, termasuk obligasi negara ritel (ORI). “Harga ORI yang biasanya premium atau di atas par, kini di bawah par,” kata Anton.

Menurut dia, jatuhnya harga obligasi juga dipicu oleh prediksi meningkatnya suplai obligasi ne­gara seiring dengan meningkat­nya defisit anggaran.

Kendati demikian, lanjut An­ton, BI tidak haras merespons meroketnya inflasi saat ini de­ngan menaikkan BI Rate. Ada banyak cara yang bisa dilakukan BI untuk meredam inflasi. Salah satunya memperkuat nilai tukar.

Imported inflation berkontribusi besar terhadap tingginya in­flasi saat ini,” tutur Anton. Untuk mengurangi imported inflation, nilai tukar rupiah harus diperkuat. Dalam perdagangan kemarin, rupiah ditutup pada level Rp 9.179 per dollar AS, melemah dibanding sehari sebelumnya Rp 9.199 per dollar AS.

Anton menjelaskan, kenaikan BI Rate akan mendorong kena­ikan suku bunga kredit yang ujungnya akan mengerem laju penyaluran kredit. Padahal, kre­dit dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dirut BNI Gatot M Suwondo memperkirakan suku bunga simpanan dan kredit akan segera naik. “Karena itulah manajemen BNI memperbaiki fundamental perusahaan dengan menaikkan provisi sebagai langkah mengantisipasi meningkatnya risiko kre­dit,” katanya. (FAJ)

Sumber: Kompas, 3 April 2008

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Ekonomi Menuju Resesi

Posted on April 15, 2008. Filed under: International |

Gubernur Bank Sentral AS Tunjukkan Sikap Pesimistis

WASHINGTON, RABU – Perekonomian AS mungkin akan tumbuh rendah selama setengah tahun pertama 2008. Ekonomi berstatus resesi mungkin akan terjadi. Demikian dikatakan Gubernur Bank Sentral AS atau The Fed Ben Bernanke ketika memberikan pernyataan kepada para anggota Kongres AS, Rabu (2/4) di Washington.

Resesi secara umum adalah julukan bagi pertumbuhan yang menurun secara berturut-turut dalam dua kuartal. Atau bisa juga disebut sebagai pertumbuhan yang tumbuh terlalu rendah sehingga tidak cukup untuk menyerap para pekerja yang menganggur.

Dana Moneter Internasional (IMF) sudah menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi AS dari 1,5 persen menjadi 0,5 persen sepanjang tahun 2008.

Di hadapan Komite Ekonomi Bersama, Kongres AS, Bernanke mengeluarkan pernyataan yang jauh lebih pesimistis daripada sebelumnya. la resah dengan per­ekonomian AS, yang dihadapkan pada tiga persoalan utama. Hal itu adalah krisis paras uang, krisis di sektor perumahan di mana banyak pemilik yang tak mampu melanjutkan pembayaran cicilan rumah, serta kekacauan di sektor kredit perbankan.

“Produksi domestik bruto mungkin tidak tumbuh secara memadai, setidaknya selama se­mester pertama 2008 atau bahkan mungkin terjadi kontraksi sepanjang tahun,” kata Bernanke. Kontraksi adalah julukan bagi ekonomi yang anjlok alias merosot karena tidak tumbuh.

Di pengujung dekade 1990-an, ekonomi AS tumbuh karena dorongan teknologi informasi, yang kemudian sekaligus juga menjerembabkan karena kebangkrutan dotcom-dotcom.

Pada awal dekade 2000-an, perekonomian AS didongkrak berkat kebangkitan sektor peru­mahan, yang harganya terus melejit. Namun, pada akhir tahun 2005, harga rumah sudah terlalu tinggi dan membuat konsumen tidak lagi mampu melanjutkan pembelian rumah. Bahkan, ke­bangkrutan di sektor perumahan ini telah menjatuhkan sejumlah lembaga keuangan kaliber inter­nasional asal AS dan Uni Eropa.

Tak pasti

Bernanke mencoba optimistis dengan mengatakan, pertumbuh­an masih bisa saja terjadi pada semester kedua tahun 2008 dan berlanjut pada tahun 2009. la melandaskan harapannya pada stimulus ekonomi senilai 168 miliar dollar AS, antara lain berupa pengurangan pajak bagi warga dan perusahaan serta pengurang­an suku bunga oleh The Fed.

Namun, Bernanke tetap me­ngatakan tidak yakin apakah The Fed akan menurunkan suku bu­nga sehubungan dengan kegalauan perekonomian. “Sudah ba­nyak penyesuaian dilakukan se­cara ekonomi maupun fmansial dan kebijakan fiskal serta mo­neter sedang dalam proses untuk mendorong ekonomi supaya mulai tumbuh semester kedua tahun 2008,” kata Bernanke.

Para ekonom cenderung me­ngatakan bahwa selama tiga ku­artal tahun 2008, ekonomi AS akan mengalami kontraksi. Para ekonom juga menyalahkan Gedung Putih yang menghambur-hamburkan uang untuk invasi Irak dan memberi keringanan pa­jak untuk korporasi besar, termasuk raksasa perminyakan, yang sedang meraup untung.

(AP/AFP/MON/JOE)

Sumber: Kompas, 3 April 2008

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Pendapatan Masyarakat Semakin Tergerogoti

Posted on April 15, 2008. Filed under: National |

Oleh NUR HIDAYATI

Tingginya inflasi dicemaskan berbagai kalangan. Pejabat pemerintah, otoritas moneter, pengusaha, dan ekonom dipusingkan oleh perhitungan strategi menekan inflasi. Kepentingan anggaran dan rencana bisnis dipertaruhkan. Namun, rakyat berpendapatan rendahlah yang paling merasakan tekanan hebat di balik angka-angka itu.

Angka inflasi yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), Selasa (1/4), jauh lebih tinggi dari dugaan para eko­nom. Inflasi Maret 2008 dibandingkan dengan Maret 2007 (ye­ar on year) mencapai 8,17 persen. Inflasi pada Maret 2008 sebesar 0,95 persen. Dengan begitu, laju inflasi tiga bulan pertama tahun ini sudah mencapai 3,41 persen.

Dari total inflasi Maret 2008 sebesar 0,95 persen, andil kenaikan harga pada kelompok bahan makanan dan makanan jadi sudah mencapai 0,57 persen atau lebih dari separuh.

Sebagai perbandingan, angka inflasi year on year sepanjang tahun 2007 tidak pernah menembus 8 persen. Tahun lalu, inflasi year on year tertinggi terjadi pada September bertepatan dengan bulan puasa sebesar 6,95 persen.

Selama tujuh tahun terakhir, pola inflasi Maret cenderung le­bih rendali dari bulan-bulan sebelumnya karena pengaruh turunnya harga beras pada musim panen raya. Dalam kurun waktu itu, inflasi bulan Maret yang naik tajam hanya terjadi pada Ma­ret 2005, pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang pertama, 1 Maret 2005.

Maret 2008, harga beras juga turun dan menyumbang deflasi sebesar 0,17 persen. Namun, penurunan harga beras kali ini ti­dak bisa menarik inflasi lebih rendah karena harga 42 jenis komoditas pangan lainnya meningkat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, dibutuhkan usaha luar biasa dari berbagai pihak untuk mewujudkan target inflasi akhir tahun sebesar 6,5 persen dalam APBN Perubahan 2008.

Target itu ditetapkan peme­rintah di tengah kecenderungan kenaikan harga komoditas pa­ngan yang masih cukup tinggi. Untuk mencapai target inflasi 6,5 persen, rata-rata inflasi sela­ma sembilan bulan mendatang harus berada pada kisaran 0,34 persen per bulan.

“Kalau membaca analisis Kadin memang agak seram, sepertinya pemerintah salah semua dari A-Z.”

Susilo Bambang Yudhoyono

Padahal, tren peningkatan in­flasi yang biasa terjadi pada bu­lan puasa, Lebaran, dan Natal, misalnya, masih menghadang.

Pengamat ekonomi, Dradjad H Wibowo, memperhitungkan, laju inflasi pada akhir tahun ini akan berada pada kisaran 7-8 persen. Beratnya tekanan inflasi terhadap perekonomian pads tahun ini akan sangal berat antara lain karena kenaikan harga ko­moditas.

Pernyataan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Ka­din) Indonesia MS Hidayat pada pembukaan Rapat Pimpinan Nasional Kadin 2008, Senin lalu, merepresentasikan kekhawatiran dunia usaha terhadap tren inflasi saat ini.

Kadin memperhitungkan, de­ngan inflasi akhir tahun sebesar 7 persen saja, tingkat pertumbuhan ekonomi bruto sebesar 13-14 persen pun tidak akan banyak berarti. Inflasi yang tinggi diyakini akan mengakibatkan inefisiensi dalam pengelolaan eko­nomi.

“Stabilitas pengelolaan kebi­jakan makro-ekonomi amat diperlukan karena pentingnya daya saing keseluruhan bangsa ini. Pengusaha dan dunia usaha tak bisa mengambil keputusan yang tepat dan benar pada saat angka inflasi tinggi akibat disiplin fiskal yang tak terkendali,” ujar Hi­dayat.

Para pelaku usaha juga khawatir sektor keuangan tidak akan mampu menjalankan intermediasi secara optimal jika pemerintah menerapkan defisit anggaran yang terlalu besar.

Kebijakan subsidi BBM dan listrik yang membengkak hingga Rp 200 triliun pun dicemaskan akan berujung pada ketidakmampuan pemerintah membiayai perbaikan infrastruktur.

Kadin berharap pemerintah segera mengupayakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dan .pengendalian kebijakan ekono­mi. Untuk itu, Kadin merekomendasikan pentingnya implementasi atas strategi besar mengatasi krisis energi, pangan dan keuangan global, serta pe­ningkatan produksi minyak.

Melalui implementasi kebi­jakan penanganan krisis yang efektif, inflasi tahunan diharapkan dapat ditekan hingga di bawah 5 persen atau mendekati rata-rata inflasi negara-negara yang sedang bertumbuh tinggi, seperti China, India, dan Rusia.

Menanggapi analisis Kadin itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, “Kalau membaca analisis Kadin memang agak seram, sepertinya pe­merintah salah semua dari A-Z. Seperti juga di zaman kegelapan, jelek semuanya. Namun rekomendasi Kadin, saya kira baik.”

Suku bunga

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom mengatakan, BI tidak akan merespons tekanan inflasi dengan menaikkan suku bunga. Hal itu dikarenakan tekanan inflasi cenderung didorong oleh kenaikan harga komoditas dunia yang sulit dikendalikan.

Tekanan inflasi yang paling berat secara nyata sebenarnya dialami oleh kalangan masyarakat berpendapatan rendah. Sekitar 60 persen dari pengeluaran kalangan masyarakat ini tersedot untuk belanja makanan. Ke­naikan harga makanan yang berada pada kisaran 15-30 persen tentu berdampak pada penurunan kualitas hidup.

Di sisi lain, kenaikan harga pangan yang dicerminkan oleh tingkat inflasi sulit dihindari karena Indonesia tak mungkin lagi mengisolasi pasar domestik dari tekanan global. Instrumen stabilisator harga pangan pun hanya dipunyai pemerintah untuk ko­moditas beras melalui Perum Bulog.

Direktur Inter Cafe Institut Pertanian Bogor, Iman Sugema, menilai, perangkat fiskal yang digunakan pemerintah, berupa penurunan bea masuk tepung terigu dan kedelai, serta pajak pertambahan nilai minyak goreng yang ditanggung pemerin­tah, tidak akan efektif. Hal itu dikarenakan lonjakan harga jauh lebih tinggi dan masih terus berlanjut.

Subsidi pangan yang diberikan melalui pasar murah mi­nyak goreng dan “diskon” harga bahan baku bagi perajin tahu dan tempe pun tak berdampak signifikan. Penurunan harga pa­ngan melalui penggunaan perangkat fiskal dan tambahan subsidi dirasakan seperti harapan muluk.

Jika kebijakan fiskal dan tam­bahan subsidi itu dimaksudkan untuk menolong masyarakat miskin, kondisi riil masyarakat ternyata belum cukup tertolong.

“Dengan dana terbatas, peme­rintah membuat terlalu banyak program untuk mengurangi dampak kenaikan harga pangan ini. Akibatnya, malah enggak fokus,” ujar Iman.

Kompleksitas masalah yang menghadang terkait dengan tingginya inflasi sepertinya be­lum akan segera terurai. Pola kebijakan reaktjf, kurang terfokus, dan kelemahan dalam implementasi semakin tak bisa ditoleransi. (OIN/HAR/OSA/FAJ)

Sumber: Kompas, 2 April 2008

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Akhirnya AS Bersedia Tata Lembaga Keuangan

Posted on April 15, 2008. Filed under: International |

WASHINGTON, SENIN – Pemerintah Amerika Serikat akhir­nya bersedia mengatur kembali semua lembaga keuangan yang menjadi salah satu akar dari krisis keuangan global. Ini adalah sebuah kejutan mengingat Presiden AS George Walker Bush selama ini menolak seruan tersebut.

Tudingan yang diarahkan kepada Gedung Putih adalah peran lembaga keuangan tersebut sebagai penyumbang dana kampanye kepada politisi AS dengan imbalan agar lembaga keuangan tersebut tidak diatur ketat.

Keputusan baru Pemerintah AS itu soal pengaturan lembaga keuangan adalah yang pertama kali sejak krisis ekonomi terbesar dunia tahun 1929 yang dimulai di Amerika Serikat.

Pihak Jerman berkali-kali menyerukan agar lembaga keuangan AS dan global ditata kembali. Se­ruan itu juga disampaikan The Bank for International Settle­ment (BIS) yang berbasis di Ba­sel, Swiss.

Pada pertemuan G-8 tahun lalu, topik pengaturan lembaga ke­uangan mental karena penolakan Inggris dan AS. Dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, awal 2008, George Soros menegaskan gejolak pasar keuangan global tidak akan bisa diatasi hanya dengan penurunan suku bunga atau penyuntikan dana-dana ke sistem perbankan global.

Menurut Soros, gejolak keu­angan global terjadi karena aktivitas sektor keuangan yang begitu liar dan beroperasi di luar kendali. Terlalu banyak kepalsuan dalam laporan keuangan glo­bal, dan sangat marak praktik-praktik “penipuan” yang akhirnya membuat banyak lem­baga keuangan global terjerembab dalam kebangkrutan massal.

Pinjaman untuk spekulasi

Salah satu contoh yang sering disebutkan adalah dimungkinkannya uang hasil pinjaman dari bank untuk dialokasikan ke investasi spekulatif, transaksi derivatif yang berisiko tinggi. Hal itu dimungkinkan karena lemahnya regulasi.

Para pengamat mengatakan, faktor itulah yang membuat AS sadar soal pentingnya pengatur­an. Menkeu AS Henry Paulson membantah. “Saya kira tidak tepat mengaitkan rencana pengaturan tersebut dengan krisis glo­bal,” kata Paulson.

Namun, krisis sektor perumahan di AS telah menjadi salah satu penyebab krisis keuangan global, yang sudah merembes ke penurunan perekonomian global. Terjadi kebangkrutan di sejumlah bank-bank besar Uni Eropa, bank-bank investasi AS seperti Goldman Sachs, Bear Stearns, dan lainnya.

Hal itu membuat lembaga ke­uangan tak mau menyalurkan kredit baru. Menurut mantan Gubernur Bank Sentral AS Alan Greenspan, faktor itu mempercepat ekonomi menuju resesi.

Kekacauan perekonomian AS telah pula membuat investor dunia menghindari aset-aset dalam denominasi dollar AS. Para spekulan, yang selama ini memegang aset-aset AS, berlomba-lomba nlemasuki pasar minyak, komoditas yang membuat harga-harga melejit.

Para pemilik dana ingin mengoptimalkan nilai-nilai aset de­ngan “berspekulasi” di bursa komoditas. Hal itu kemudian mendongkrak harga-harga atau menciptakan inflasi. Direktur Pelaksana IMF Domonique Strauss Kahn sudah mengingatkan ancaman dunia, yakni resesi yang disertai inflasi (stagflasi, kombinasi antara stagnasi dan inflasi).

Memperkuat The Fed

Menkeu AS Paulson mengata­kan, dalam pengaturan baru itu, yang disusun dalam sebuah draf setebal 200 halaman, fungsi Bank Sentral AS (Fed) akan diperkuat sebagai stabilisator pasar uang.

The Fed akan diberikan kekuasaan untuk mengaudit laporan keuangan lembaga keuangan, bukan saja lembaga bank, yang berkontribusi besar terhadap kekacauan sistem keuangan global.

Dalam draf itu juga disebutkan, perusahaan keuangan yang bergerak di perdagangan berjangka, salah satu aktivitas spekulatif, ju­ga akan ditata ulang. Ini semua adalah hasil evaluasi selama setahun terakhir.

Dalam draf itu juga disebutkan akan dibentuk sebuah badan baru yang akan mengawasi kredit uni­on dan lainnya. Pengawasan itu selama ini berada di bawah lima badan dan akan disatukan.

Sebuah lembaga baru akan di­bentuk, yang akan mengatur perilaku bisnis, dan memberikan perlindungan kepada konsumen. Badan ini akan mengambil alih sebagian besar pengawasan yang selama ini dilakukan Badan Peng­awasan Bursa Saham AS.

Ketua Komisi Senat AS bidang Perbankan Christopher Dodd mengatakan, langkah itu tidak akan bisa mengatasi krisis ke­uangan global segera. Dibutuhkan waktu hingga pengaturan itu memberikan hasil efektif.

Meski demikian, Ketua Komite Jasa Keuangan DPR AS Barney Frank mengatakan, hal itu adalah langkah maju yang konstruktif.

Harian Inggris, Financial Ti­mes, edisi Senin (31/3), juga memberitakan Inggris akan bahu-membahu dengan AS untuk mengatasi kekacauan di sektor keuangan.

Perdana Menteri Inggris Gor­don Brown, juga mantan Menkeu Inggris, adalah salah satu tokoh yang mendukung pengaturan lembaga keuangan.

“Jelas, kami akan bekerja sama secara erat dengan AS dan negara industri lainnya untuk mengatasi turbulensi keuangan global,” kata seorang juru bicara PM Brown. “Ini adalah isu global yang tentunya menuntut respons global,” kata juru bicara yang tidak di­sebutkan namanya itu.

(REUTERS/AP/AFP/MON)

Sumber: Kompas, 1 April 2008

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

« Previous Entries

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...